Menelisik Pengelolaan Uang Negara dan Pendirian Danantara

Tumpukan uang di ruang penyimpanan uang BNI, Jakarta, Senin (2/11/2015). Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat jumlah rekening simpanan dengan nilai di atas Rp2 M pada bulan September mengalami peningkatan . (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam rapat paripurna pada 4 Februari 2025.

Perubahan ini awalnya diketahui publik sebagai landasan hukum bagi pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara). Namun, ada hal lain yang menjadi sorotan yaiitu definisi baru tentang uang negara yang dipisahkan.

"Definisi ini mengubah konsep yang selama ini berlaku. Uang negara yang dipisahkan dalam konteks UU BUMN baru ini tidak lagi diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan tidak dapat ditindak aparat hukum jika terjadi penyimpangan yang berpotensi merugikan negara," kata Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) Iskandar Sitorus dikutip Minggu (23/2/2025).

Menurut Iskandar, dalam konteks keuangan negara dan hukum, ada beberapa istilah yang bisa menggambarkan fenomena ini:

  1. Uang negara yang dikaburkan statusnya – Dana yang awalnya berasal dari keuangan negara tetapi kemudian ditempatkan dalam mekanisme yang membuatnya sulit diperiksa atau diawasi.
  2. Uang negara yang dikonversi – Dana negara dialihkan ke mekanisme tertentu sehingga tidak lagi tunduk pada pengawasan keuangan negara.
  3. Dana semi-privatisasi – Uang negara yang dipisahkan dalam bentuk dana khusus atau perusahaan yang dikelola swasta, tetapi tetap terkait dengan kepentingan negara.
  4. Shadow Funds (Dana Bayangan) – Dana yang secara administratif dan hukum tidak lagi dianggap sebagai keuangan negara meskipun berasal dari negara.
  5. Dana non-audit (Unaccountable Fund) – Dana negara yang dipisahkan sehingga tidak lagi dapat diaudit oleh BPK atau diawasi aparat hukum.
  6. Uang negara yang didelegitimasi – Dana negara yang sengaja dipindahkan ke mekanisme tertentu sehingga kehilangan statusnya sebagai bagian dari keuangan negara.

    Iskandar Sitorus menilai bahwa jika ada upaya untuk menghindari pemeriksaan atau pengawasan terhadap kekayaan negara yang dipisahkan, hal tersebut berpotensi menjadi pelanggaran hukum dan masuk dalam kategori tindak pidana korupsi. Lebih jauh lagi, praktik ini bisa dikategorikan sebagai fraud keuangan negara, pencucian uang (money laundering), atau penggelapan keuangan negara (embezzlement).

    Oleh karena itu, IAW menyerukan agar Presiden Prabowo Subianto tidak hanya meninjau ulang BPI Danantara, tetapi juga revisi definisi uang negara dalam UU BUMN. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan kekayaan negara adalah hal yang krusial untuk mencegah praktik-praktik yang dapat merugikan negara.

    Iskandar meyakini bahwa Presiden Prabowo mampu mengantisipasi upaya yang bertujuan mengaburkan status uang negara. Ia mengingatkan bahwa jika pemerintah membiarkan praktik semacam ini terjadi, maka hal tersebut dapat menjadi celah bagi oknum tertentu untuk menyalahgunakan keuangan negara dan merusak kredibilitas pemerintahan.

    Sebagai langkah antisipasi, pola transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan kekayaan negara harus diperkuat. Jika tidak, kebijakan ini justru akan menjadi pintu masuk bagi berbagai praktik korupsi dan penyalahgunaan kekayaan negara yang seharusnya diawasi secara ketat oleh lembaga negara seperti BPK dan aparat hukum lainnya.